Selasa, 17 Juni 2008

Genderuwo

Besar, bersuara keras, itu ciri khasnya. Mahluk itu tampak menatap Yudis . Dengan tingginya yang 3 meter (bisa lebih tinggi lagi kalau dia mau), sang gaib tampak tidak gentar. "Jangan mengganggu" kata Yudis dengan tenang. Namun kata-katanya hanya dibalas dengan raungan keras. Tiba-tiba kilatan cahaya merah menghantam ke arah Yudis.

Dengan gerakan yang lincah Yudis berhasil mengelak. Mengetahui lawan tidak kooperatif, Yudis mulai mengeluarkan aura aslinya. Cahaya putih dan kuning terlihat mengelilingi dirinya. Genderuwo melihat perubahan pada kedua mata Yudis, yang berubah menyerupai mata binatang buas (ular naga).

Seketika itu juga dua buah bola roh berwarna hijau tua datang dan berubah wujud menjadi dua Genderuwo yang besarnya hampir sama dengan yang pertama. Yudis menatap tajam ke arah mereka, ia tahu bila terjadi pertempuran, ia tetap akan menang.

Para Genderuwo tidak melakukan gerakan apapun. Mengetahui salah memilih lawan mereka tampak bimbang. "Maafkan adik kami yang lancang" kata salah satu Genderuwo yang datang belakangan. Mereka bertiga telah berubah wujud menjadi tiga orang laki-laki muda. "Suatu saat kami akan membantu bila diberi pengampunan"

"Baiklah ingat-ingat janji kalian". Mereka bertigapun mohon pamit dan menghilang.

Denting Piano

"Hari ini cukup sampai disini, ingat-ingat yang tadi sudah dilatih" pesan Bu Dewi, Guru Kesenian. Murid-murid hanya mengangguk. Mereka bergegas membereskan barang-barang dan berjalan keluar aula sekolah. Bu Dewi sendiri beserta dengan Asih, Mila dan Niko masih membicarakan beberapa hal. Ruang aula terasa terlalu besar untuk menampung mereka.

Aula sekolah terletak di lantai paling atas gedung sekolah. Dilengkapi dengan fasilitas full AC, peralatan musik lengkap , panggung dan kursi-kursi yang selalu tertata rapi. Tampak Ibu Dewi dan murid-murid yang tersisa berkumpul di panggung sebelah kanan. Mereka masih membahas mengenai drama yang akan dibawakan untuk merayakan ulang tahun sekolah.

"Jadi , kamu , Herman, Toni dan Cindy akan menempati baris belakang" kata Bu Dewi kepada Niko sambil berjalan di panggung. "Kemudian pemain piano memainkan lagu pertama" Bu Dewi menunjuk ke arah piano hitam di sudut kiri panggung. "Setelah lagu pertama selesai, kelompok dua segera masuk, jangan telat" , Bu Dewi menatap Mila, pemimpin kelompok dua.

Ting! Terdengar bunyi piano. Sebuah nada tinggi. Asih, Mila dan Niko melihat ke arah piano, Bu Dewi memutar tubuhnya , juga melihat ke arah piano. "Kaget" kata Asih pelan. Mila dan Niko terdiam. Bu Dewi tampak berusaha tenang dan melanjutkan pembicaraan. Ia terus memberikan pengarahan. Baik Asik, Mila maupun Niko tampak melupakan sejenak kejadian barusan.

Ting! sekali lagi sebuah nada tinggi terdengar dari arah piano. "Bu" kata Mila dengan wajah ketakutan. Niko dan Asih pun tampak terkejut. Bu Dewi terlihat menarik nafas panjang, ia kemudian menatap ke arah piano. Ya kejadian tiga hari yang lalu sudah cukup menghebohkan sekolah, dan tentunya masih menghantui seluruh penghuni sekolah baik guru maupun murid.

Suasana sunyi menyergap. Semua yang berada di aula tampak terdiam.
Ting! terdengar nada yang sama. Mereka semua melihat tidak ada seorangpun di dekat piano hitam. Asih menggenggam erat lengan Mila. Niko dapat merasakan jantungnya berdetak kencang, ia hanya menunggu reaksi Bu Dewi, satu-satunya orang yang menurutnya dapat diandalkan dalam situasi seperti ini. Bu Dewi sendiri, di usianya yang sudah lebih dari kepala tiga tampak gugup.

"Baiklah kita pulang" kata Bu Dewi memecah keheningan. Terburu-buru mereka membereskan barang-barang dan segera bergegas keluar aula. Peralatan-peralatan yang ada mereka tinggalkan, merekah tergesa-gesa membawa barang-barang masing-masing. Ting! entah sadar atau tidak dentingan piano masih terdengar ketika mereka berjalan keluar. Semua wajah tampak tegang.

Niko yang terlebih dahulu keluar ruangan segera menuruni tangga , disusul oleh yang lain. Di lantai 2 mereka melihat beberapa anak sedang bercanda setelah mengikuti kegiatan futsal. Tampak juga Pak Robby, guru olahraga. Rombongan Bu Dewi tampak bisa bernafas lega. Asih dan Mila segera duduk di kursi di depan ruang kelas 1. Mereka masih merasakan ketakutan.

"Pada abis ngapain?" tanya Kris, salah satu murid futsal. Niko melihat ke arah Bu Dewi yang tampak sedang berbicara dengan Pak Robby. Ia lalu menceritakan kejadian di ruang aula. Anak-anak segera berkumpul mendekati Niko. Keramaian tercipta seketika. Asih dan Mila pun tampak dihujani berbagai pertanyaan.

"Gimana nih?" tanya Bu Dewi. "Ya sudahlah nanti kita sampaikan di rapat aja, makin aneh" kata Pak Robby.

Kamis, 12 Juni 2008

Lampu

Sore itu seperti biasa, beberapa anak bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Rudi dan Anton, setelah kegiatan basket usai mereka cepat-cepat mengemasi barang-barang mereka.
"Eh buku sejarah gw kok ga ada ya?" tanya Rudi
"Coba cari lagi" jawab Anton.
Rudi membuka tasnya dan mulai mencari, "Ga ada nih"
"Ada yang minjem ga?" tanya Anton
"Ah jangan-jangan ketinggalan" kata Rudi.
"Ah gila lu, besok mau ulangan buku ditinggal segala, dimana?"
"Kelas"

Anton terdiam sejenak. "Pinjem anak kelas lain aja lah, besok baru diambil"
"Takut lu?" tanya Rudi sambil melihat wajah Anton
"Ck lo tau sendiri lah kejadian kemarin itu, males gw musti ke kelas lagi"
"Ya terserah deh , kalo lo takut, ntar biar si Rika gw ceritain hehehe.."
"Wah ga asik lo, ya udah lah buruan ya ngambilnya"

Dengan langkah tergesa keduanya memasuki bangunan sekolah. Sebuah bangunan yang terdiri dari empat lantai. Sebagai SMU bertaraf internasional, tidak mengherankan gedungnya pun cukup terawat.
Saat itu lampu-lampu kelas sudah padam, hanya beberapa lampu di depan kelas yang menyala.

"Nih kuncinya, jangan lupa nanti dikunci lagi pintunya ya" pesan Pak Jarwo sambil memberikan kunci kepada Rudi. "Beres Pak"

Mereka segera berjalan menuju tangga.
"Eh satpam aja ga berani tuh masuk"
"Ya dia males kali ton"
"Bukannya..."
"Udah diem aja lo ga usah aneh-aneh lah"

Tidak terasa mereka sudah di lantai 3. Suasana gelap makin menyelimuti, ditambah lagi cuaca memang agak mendung. Jam di salah satu sisi dinding menunjukkan pukul 18.15. Mereka berjalan ke arah kelas 2F.
Di dalam hati Rudi agak kecut juga walaupun dia malu mengakui kalau dia merasa lega karena ada Anton yang menemani.
"Buruan buka"
"Iya sabar", terdengar suara gemerincing anak-anak kunci, Rudi tampak kesulitan memilih anak kunci yang tepat. "Sial banyak banget nih 2A, B , C, D, E...nah ini F" Rudi segera mencoba membuka pintu kelas dengan anak kunci yang telah ia pegang.

Saat pintu kelas terbuka, terasa udara lembab menyeruak keluar.
"Gelap nih, nyalain lampu" kata Anton
"Bentar, mana nih lampunya" tangan Rudi meraba-raba dinding di sampingnya.
Klik terdengar saklar lampu ditekan. Cahaya lampu pun segera menerangi kelas.
Baik Rudi maupun Anton merasa sedikit lega karena tidak berada dalam kegelapan lagi.
Kemudian Rudi berjalan ke arah mejanya. Di deretan kedua dari belakang. Anton menunggu di dekat pintu kelas.
"Dapet nih" seru Rudi sambil tersenyum ke arah Anton, sebuah buku ia genggam dari laci mejanya. Anton hanya diam saja sambil melihat ke luar kelas.
"Yok cabut" ajak Anton.
Rudi lalu mematikan lampu, menutup pintu dan menguncinya.
Lalu ia berjalan menyusul Anton yang sudah melangkah terlebih dahulu ke arah tangga.
"Rud lampu belum lo matiin?" tanya Anton sambil melihat ke arah kelas 2F
"Udah ah" kata Rudi tanpa melihat ke kelasnya
"Liat tuh, gimana sih, ntar dimarahin lo sama si Jarwo"
"Eh iya, perasaan tadi udah gw matiin deh"
"Buruan sana matiin, gw tunggu disini aja"
Rudi kembali berjalan ke arah kelas, sementara Anton menunggu di dekat tangga. Seperti sebelumnya Rudi membuka pintu kelas lalu mematikan lampu. Anton dari kejauhan melihat ruang kelas sudah gelap kembali. Terlihat Rudi mengunci pintu dan berjalan ke arah Anton. Tiba-tiba jantung Anton berdegup kencang, ia melihat kelas 2F sudah diterangi lampu lagi. "Rud!" seru Anton
"Apaan sih teriak-teriak ngagetin aja" kata Rudi yang memang ia sendiri sudah agak takut dari tadi.
"tuh" Anton menunjuk ke arah kelas.
"Anjrit!" Rudi tampak kaget
Rudi pun yakin ia sudah mematikan lampu kelas
"Tadi udah mati kan ton?"
"iya udah mati kok nyala lagi ya"
"Anjrit nih, tinggal aja lah suruh si Jarwo yang matiin"

"Hei kalian ngapain belum pulang" terdengar suara di belakang mereka. Seketika itu juga Rudi dan Anton menengok ke belakang. Rupanya Pak Budiman yang menegur mereka. Pak Budiman baru saja membereskan peralatan audio visual yang akan dipakai menonton besok di ruang perpustakaan lantai 4.

"Nggak Pak, itu lampu kelas ga bisa dimatiin" jawab Anton
"Masak sih?" Pak Budiman tampak mengernyitkan dahi.
"Sini saya yang matiin" Pak Budiman mengambil kunci dari tangan Rudi.
Lalu ia pun berjalan menuju ruang kelas. Beberapa saat kemudian Rudi dan Anton melihat lampu di ruangan sudah mati. Merasa penasaran mereka terus menatap ke ruangan tersebut. Pak Budiman sudah berjalan kembali ke arah mereka. Tampak lampu di ruang kelas tetap gelap.
"Udahlah yok balik aja" ajak Pak Budiman
Mereka bertiga lalu berjalan menuruni tangga.

--------------------------------------
Keesokan harinya baik Rudi maupun Anton tidak menceritakan kejadian lampu kelas kepada siapapun. Mereka tidak mau menambah buruk suasana yang memang sudah terjadi sejak minggu kemarin.

"Hei kalo nyalain lampu dimatiin lagi dong" tegur Pak Jarwo kepada Rudi
"Udah kok kemarin dimatiin"
"Ah bohong kamu, kemarin waktu saya kontrol, masih nyala tuh lampu kelas kamu"
"Beneran Pak udah dimatiin, kalo ga percaya tanya aja Pak Budiman, dia yang matiin tuh"

Mendengar nama Pak Budiman, Pak Jarwo terdiam.
"Tuh orangnya" kata Rudi sambil menunjuk Pak Budiman yang sedang berjalan menuju halaman sekolah.
"Pak!" panggil Rudi
Pak Budiman yang melihat Rudi sedang bersama satpam segera menghampiri
"Ada apa ini?" tanya Pak Budiman
"Kemarin lampu Bapak yang matiin kan?" tanya Rudi sambil menatap Pak Budiman
"Iya emang kenapa?" tanya Pak Budiman dengan wajah penasaran
"Maaf Pak, kemarin waktu saya kontrol, ruang 2 F lampunya masih nyala" jelas Pak Jarwo
"Ya orang lain kali masuk lagi, atau mungkin lampunya rusak, udah nanti saya bilang ke teknisi suruh periksa" kata Pak Budiman. Di dalam hati, Pak Budiman sebenarnya terkejut bukan main, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.
-----------------------------